“Kenapa belum nikah?”
Sebuah pertanyaan yang kerap
dilontarkan saat ini. Ini adalah bulan syawal. Bulan syawal terkenal sebagai
bulan menikah karena banyaknya orang yang menikah pada bulan itu. Tahun ini banyak
teman-teman sebayaku yang memilih untuk mengakhiri masa lajangnya. Tidak heran
mengingat usia mereka sudah menginjak angka 22 tahun.
Bagi orang yang ingin menikah,
bulan syawal merupakan bulan bahagia. Namun, bulan syawal ini adalah bencana
bagi orang-orang yang belum ingin menikah namun terus dihantui pertanyaan
“kapan menikah” oleh keluarga dan orang-orang disekelilingnya.
Tidak jarang di acara pertemuan
keluarga atau berkunjung kerumah guru SMA, selain pertanyaan “kapan selesai
kuliah”, pertanyaan “Kapan menikah” adalah favorit para orang tua. Dan kita,
sebagai objek yang ditanyai, sudah panas kuping mendengarnya.
Aku tidak habis pikir dengan pemikiran
orang-orang kampung, yang masih sangat primitif. Mereka berpikir bahwa seorang
perempuan sehabis kuliah tidak punya pilihan hidup selain menikah. Padahal,
banyak sekali cita-cita yang harusnya tercapai, impian yang harusnya tergapai,
dan mimpi yang harusnya terwujud sebelum seseorang perempuan memutuskan untuk
menikah.
Aku tidak mengatakan bahwa
menikah menghalangi seorang perempuan
untuk mewujudkan mimpi dan cita-citanya, namun dapatkah teman-teman bayangkan,
ketika kita memilih untuk menjadi istri orang, bukankah semua pergerakan kita
harus sesuai dengan izin suami?
Kita sebagai orang islam tentu
paham, bahwa “surga istri terletak pada telapak kaki suami” yang artinya kita
harus patuh dan taat pada apapun perkataan sang suami.
Lalu, setelah menikah apa?
Apa yang sudah kita siapkan untuk membentuk keluarga?
umur yang cukup, tidak menjadi patokan.
siap umur, belum tentu siap jiwanya.
belum tentu siap emosinya.
Banyak orang yang berbakat tapi
berakhir menjadi ibu rumah tangga biasa. Bekerja dibalik dapur, mengurus anak
dan suami. Semua cita-cita yang dipendamnya harus tetap terpendam tanpa mampu
diwujudkan, hancur seketika hanya karena suami tak memberinya izin bekerja.
Tulisan ini ada, bukan berarti aku
mengharamkan seorang perempuan menjadi Ibu rumah tangga. Akupun tau dalam agama
Islam menjadi Ibu rumah tangga adalah sebuah tugas mulia.
Tapi, Aku hanya
bersikap realistis.
Dewasa ini, dunia tak lagi sama. Tidak semua laki-laki giat
bekerja. Tidak semua laki-laki setelah menikah mampu membahagiakan istrinya.
Tidak semua laki-laki mampu memberikan kehidupan yang layak untuk istri dan
anak-anaknya.
Lalu, jika kita, perempuan ini
buta, tidak tau menahu akan dunia kerja, apa yang terjadi dengan keluarga yang
sudah dibangun?
Banyak temanku yang berakhir
menjadi janda karena tak mampu mempertahankan rumahtangganya. Masih muda, tapi
sudah janda, miris sekali.
Banyak juga mereka yang tidak pikir
dua kali untuk menikah, setelah menikah harus banting tulang disawah menafkahi
keluarganya karena suaminya malas bekerja.
Tak sedikit yang akhirnya bercerai,
karena masih belum cukup matang pemikirannya dalam mempertahankan rumah
tangganya.
Ada juga Ibu muda yang melarikan
diri dari rumah, meninggalkan anak dan suaminya berdua saja karena tidak mau
diurus lagi.
Tak heran banyak kasus menyedihkan
seperti itu, karena keputusan untuk menikah, tidak dipikir secara dewasa.
Mereka berpikir menikah adalah
sebuah lomba.
Dimana jika anak tetangga sudah
menikah berarti anakku harus cepat menikah juga.
Mereka pikir menikah adalah sebuah
persaingan.
Dimana siapa yang paling cepat
menikah berarti dia yang paling laku.
Mereka pikir menikah adalah sebuah
ajang pamer.
Dimana siapa yang paling banyak
maharnya dialah yang paling keren.
I don’t think so.
Menikah, lebih dari itu bagiku.
Menikah adalah sebuah fase
perubahan hidup dari sendiri menjadi berdua, lalu menjadi tiga dan terbentuklah
sebuah keluarga.
Menikah adalah sebuah proses
pematangan emosi, dimana keegoisan tidak lagi merajai. Menikah berarti akan
hidup dengan orang yang samasekali asing, lalu membiasakan diri untuk tidak
asing dan menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangan kita.
Menikah berarti harus rela membagi
apapun yang kita punya dengan dia.
Menikah tidak melulu tentang kebahagiaan,
tapi juga derita yang akan terjadi setelah kita membentuk bingkai rumah tangga.
Bagiku, memutuskan untuk menikah
adalah sebuah keputusan besar. Dan tanpa pikiran yang matang, aku tidak akan
mampu memutuskan itu.
Komentar
Posting Komentar