Orang-orang yang sudah lama mengenal aku pasti tau kalau aku sering kesusahan bernafas, apalagi saat cuaca dingin. Aku biasanya mengabaikan penyakit ini karena hanya kambuh beberapa hari saja. Tapi, minggu lalu aku memutuskan untuk pergi ke Praktek dokter THT atas paksaan seseorang (read: pacarku).
Dia khawatir ketika tau aku harus bernafas pakai
mulut karena hidungku sedang kekurangan fungsinya. Biasanya, penyakitku hanya
kambuh ketika cuaca dingin. Tapi aku baru sadar ternyata penyakit itu juga
kambuh saat aku sedang merasa stres, panik dan khawatir terhadap sesuatu.
Kebetulan aku sedang mengalami anxiety yang parah beberapa waktu
terakhir karena sesuatu hal yang tidak bisa aku jelaskan. Semakin aku stres,
semakin aku kesusahan bernafas.
Mulailah aku mencari dokter THT terbaik yang ada
di Banda Aceh, kota tempat tinggalku saat ini. Pencarian di Google membawaku ke
halaman website seorang dokter THT bernama Dr. Iskandar Zulkarnaen. Rame
sekali yang memberi review bagus kepada dokter ini. Akupun tertarik dan
segera menghubungi nomor yang tertera di website tersebut.
Ketika panggilan tersambung, orang yang
menjawab di seberang sana yang aku duga adalah seorang receptionist,
mengaku bahwa dokter Iskandar tidak masuk hari itu –seingatku hari sabtu ketika aku menelepon,
dan menyarankan agar datang pada hari kamis.
“Dokternya nggak masuk hari ini”, katanya.
“Kalau senin, masuk ngga ya?”
“Wah ngga juga, hari kamis baru ada. Tapi mungkin
hari senin beliau masuk di Klinik Rasi”, jelas sang receptionist.
Karena tidak mau menunggu sampai hari kamis,
akupun mendatangi Klinik Rasi pada hari minggu untuk mengetahui kejelasan
jadwal dokter Iskandar Zulkarnaen.
Namun Klinik Rasi tidak ada tanda-tanda seperti akan
buka. Terlebih lagi, tidak ada nomor yang dapat dihubungi. Aku pulang dengan
kecewa.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk mendatangi
Cempaka Lima di Beurawe. Klinik yang terkenal bagus itu pastilah mempunyai dokter Spesialis THT yang bagus juga. Aku datang pagi sekali sebelum masuk
kantor. Namun, aku menelan kekecewaan yang sama, dokternya baru tersedia jam 5
sore. Pagi itu aku hanya bisa reservasi dokternya dan mengambil nomor antrian,
dan berencana kembali ketika sore hari.
Ketika sampai di Kantor, aku mulai berselancar di
google mencari tau tentang keberadaan dokter Iskandar lagi. Aku membaca kembali
review orang-orang dan semakin tertarik dengan dokter ini. Siangnya aku
memutuskan untuk mendatangi kembali Klinik Rasi di Jambo Tape, untuk memastikannya
sekali lagi.
Syukurlah, kedatanganku kali ini membuahkan hasil.
Kliniknya buka dan aku berhasil mendaftar sebagai pasien dokter Iskandar. Karena
buka prakteknya juga jam 5 sore, dan aku mendapatkan nomor antrian ke 5, aku
disuruh datang setelah magrib saja. Aku sudah bulatkan tekad untuk berobat
disini dan membatalkan rencana berobat di Cempaka lima.
Aku datang tepat setelah magrib, jam 19.20. Ketika
aku tiba, receptionist-nya ternyata adalah orang yang berbeda dengan orang
yang aku temui siang tadi. Dia menyuruhku mendaftarkan diri dan mengambil kartu
pendaftaran. Aku bingung, karena tadi siang merasa sudah mendaftar, namun tidak
diberi kartu.
“tapi antrian saya tetap nomor 5 kan buk?”,
tanyaku pada receptionist yang usianya aku tebak lebih dari setengah abad.
“ngga, kan adek baru datang, harus ngantri sama
yang udah datang lah”, jawabnya.
“tapi saya udah daftar siang tadi, Bu. Tuh, nama
saya di nomor 5”, kataku sambil menunjuk list pendaftaran pasien yang ada di
depan kami berdua.
“Ya tetep aja dek, yang lain duluan datang, adek
harus tunggu”
Karena malas berdebat, aku ikuti saja arahannya. Aku menunggu sampai kartuku siap di tulis. By the way, ibu ini sepertinya kurang cocok jadi
receptionist, nulisnya lambat banget.
Aku kemudian masuk ke ruang tunggu. Ada sekitar tujuh
orang di ruangan yang pengap tanpa jendela itu. Untungnya masih ada AC yang mengurangi
rasa pengap di dalamnya. Tapi karena ini masih pandemi, aku tetap khawatir
karena berada di satu ruangan dengan orang-orang yang tidak patuh protokol kesehatan.
Beberapa orang memakai masker hanya dibagian mulutnya saja dan membiarkan hidungnya
terbuka. Sebagian lagi malah cuek saja tanpa masker sama sekali. Celaka,
pikirku.
Sampai sejauh ini, sudah dua kali aku kecewa
dengan sistem pengobatan di klinik ini. Karena nomor antrian yang tidak sesuai
dan ruang tunggu dengan orang-orang yang tidak mematuhi protokol kesehatan.
Tapi karena sudah kepalang tanggung, aku akan tetap
melanjutkan pengobatan disini. Satu persatu orang dipanggil masuk ke ruang dokter
berdasarkan kartu yang dipegang oleh sang asisten. Tanpa tau aku nomor antrian
berapa, aku tetap bersabar menunggu sambil ngomel-ngomel di dalam hati.
Satu jam berlalu, akhirnya giliranku pun tiba.
“Mira Alfira”, panggil si asisten.
Aku bergegas masuk ke ruang dokter. Ruangan ini
lumayan luas untuk ukuran ruang konsultasi. Aku dipersilakan duduk di depan
dokter dengan kaca pemisah yang terbentang di depan kami. Aku rasa ini bentuk
dari protokol kesehatan juga.
“Ada keluhan apa?”, tanya dokter memulai sesi
konsultasi.
“Saya sulit bernafas dok”, kataku. “saya dulu
pernah operasi polip pas umur 14 tahun. Tapi setelah itu saya juga ngga merasa
baik, sering kesulitan bernafas saat cuaca dingin. Baru-baru ini saya ngga bisa
nafas karena stress”, lanjutku.
“Yasudah mari kita periksa dulu ya”, kata dokter
dengan ramah.
Beberapa detik kemudian aku sudah berada di depan
sebuah monitor dengan alat canggih yang menyenter hidungku sampai terlihat di
monitor itu.
“Oh, ini anotomi hidungnya sempit ya. Untuk
ukuran hidung orang normal harusnya alat ini sampai ke hidung bagian atas”,
katanya sambil menunjukkan alat yang dia pegang, ngga tau juga namanya apa.
“ini bisa sembuh dengan obat saja ya. Kalau sukses
dengan obat, maka tidak perlu ada operasi”.
“Apakah ini ada pengaruhnya sama operasi yang
saya jalani 11 tahun yang lalu, dok?”, tanyaku lagi.
“Tentu saja ada, tapi ini lebih karena alergi
dingin, atau stress, makanya sebaiknya hindari stress”,
Dokternya menjelaskan dengan sabar. Dia menjawab
semua pertanyaanku satu persatu. Tapi aku merasa semua penjelasannya terlalu
terburu-buru. Dia berbicara sangat cepat seolah ingin aku segera pergi. Apakah memang
semua dokter seperti itu?
Sesi konsultasi 5 menit itu ditutup dengan dokter
memberiku resep obat.
Aku pulang setelah mengambil obat di apotik dan
membayar biaya konsultasi serta obatnya.
Ketika sampai di rumah, aku segera makan dan
minum obat, lalu memberi hidungku dua tetes obat cair seperti arahan dokter. Seketika,
aku merasa hidungku lega.
Terimakasih dokter.
Jadi.. kesimpulanku setelah berobat di dokter THT
ini adalah:
1. Sistem
kliniknya mengecewakan karena tidak memberi pasien nomor antrian yang jelas
2. Ruang
tunggu tidak dijaga ketat sehingga orang-orang abai dengan protokol kesehatan
3. Dokternya
baik dan terlihat sangat ramah, namun terlalu terburu-buru.
4. Obat
yang diresep lumayan manjur.
surya juga idungnya kalau bangun tidur atau kedinginan suka kayak mampet gitu. kaya susah buat nafas, dikit2 buang ingus. padahal ga ada ingusnya. selamat ya buat rencana pernikahannya. semoga jd keluarga samawa! aamiin
BalasHapushalo, makasi ya doanya.
Hapus