Langsung ke konten utama

Letters From Prague | Review

 Jadi, karena ngga bisa tidur semalam, I chose to watch a movie on Netflix. Ditemani nasi goreng buatan sendiri dan segelas coklat hangat, aku mulai berselancar mencari movie Indonesia di platform itu.



A letter from Pague. That’s the title of movie.

Aku memilih judul ini bukan tanpa alasan. Melihat covernya yang menunjukkan wajah artis kesukaanku, Julie Estelle dan Ibu Widyawati, aku menaruh harapan yang besar pada film ini.

Menit pertama dibuka dengan adegan di sebuah kamar rumah sakit, seorang Ibu terlihat memakai pakaian pasien dan merebah di atas ranjang. Ada anaknya menemani sambil melihat keluar jendela.

“sudah setahun Ibu nggak lihat kamu, sekarang malah muncul dan minta sertifikat rumah”, kata Ibu dengan suara berat.

“Udahlah Bu. Aku kan nggak pernah minta apa-apa kan sama Ibu. Kali ini aja, aku minta tolong, pinjem sertifikat rumah”

Adegan pertama sudah banyak menimbulkan tanda tanya. Aku semakin tertarik sama film ini. acting Widyawati dan Julie Estelle emang ngga ada tandingannya.

“kamu bercerai aja Ibu Taunya dari orang lain”

Lalu sambil mendekat ke ranjang, Laras berkata, “Emangnya Ibu peduli? Selama ini emangnya Ibu peduli sama hidup aku? Sekali ini aja, aku minta tolong, anggap aja ini sebagai kesempatan Ibu untuk ambil andil lagi dalam hidup aku”

Aku tertohok. Bagaimana seorang anak bisa sekurang ajar ini ke Ibunya sendiri. Entah karena dia memang kurang ajar, atau karena Ibunya banyak menyimpan kesalahan di masa lalu mereka.

Laras meninggalkan Ibunya yang tanpa dia tau, meneteskan air mata saat berbalik arah.

Begitu dia kembali ke ruang rawat inap itu, ibunya sudah dibawa keruang operasi dan meninggal beberapa saat kemudian.

Film ini emang apic.

Aku tidak melihat setetespun air mata dari wajah Laras atas kepergian Ibunya. Yang bikin aku semakin terkejut, sehari setelah musibah itu, dia malah sudah meminta notaris membacakan wasiat Ibunya.

Surat wasiat mengatakan dia mendapatkan warisan rumah tempat Ibunya tinggal, dengan syarat dia harus mengantarkan satu buah kotak yang disimpan di kamar Ibunya, ke kota Praha.

Ternyata sampai film selesai, lokasinya di Praha. Kota yang indah. Aku belum pernah dengar tentang kota ini sebelumnya.

Laras tidak punya pilihan lain selain mengikuti perintah Ibunya di surat wasiat itu. demi mendapatkan rumah, dia bahkan harus rela menelan egonya sendiri.

Sampai di Praha, dia mencari alamat yang tertera di kotak yang dipegangnya itu. Tujuannya ke kota ini hanya satu, mengantarkan kotak ini, lalu mendapatkan tanda tangan penerimanya sebagai syarat dia mendapatkan warisan rumah. Lalu setelah itu dia akan pulang kembali ke Indonesia.

Sayangnya, dia ditolak oleh sang penerima kotak. Dia frustasi. Kenapa orang tua ini malah menolak pemberiannya setelah dia terbang jauh dari Indonesia.

Dalam perjalanannya ke hotel, dia dirampok di dalam taksi dan akhirnya kembali ke rumah orang yang sudah mengusirnya tadi. Dia meminta numpang menginap sampai dapat kiriman dari Indonesia agar bisa pulang.

Orang tua itu Bernama Pak Jaya. Pak Jaya ini adalah orang Indonesia yang sudah lama tinggal di Praha. Dulu ketika muda dia kuliah jurusan nuklir di Praha dan pada masa itu, dia menolak pemerintahan Soeharto dan akhirnya kehilangan kewarganegaraannya dan tidak bisa pulang ke Indonesia.

Isi kotak itu adalah surat-suratnya yang dikirimkan ke Ibunya Laras. Ada ratusan surat di dalam kotak itu dan tidak satupun berbalas. Ternyata, Ibunya laras adalah kekasih lama Pak Jaya yang ditinggalkan saat dia akan kuliah di Praha. Pak Jaya terlanjur berjanji bahwa dia akan segera pulang dan menikahi Ibunya Laras, yang akhirnya tidak pernah ditepatinya. Dia hanya bisa menepati janjinya yang kedua, yaitu mencintai Ibu nya Laras selama-lamanya. Itulah penyebab kenapa Pak Jaya terus mengirim surat walau dia tau Ibu laras mungkin telah punya kehidupan baru di Indonesia.

Klimaksnya adalah saat laras tau isi kotak itu, dia menjadi marah besar pada Pak Jaya. Dia menjadi tau penyebab kehancuran keluarganya adalah Pak Jaya. Dia baru menyadari, ibunya tidak pernah tertarik sama hal lain selain suara teriakan tukang pos. Ibunya selalu menunggu surat-surat itu tiba.  Ibunya selalu mengurung diri di kamar, nggak pernah peduli sama hal lain. Ternyata itulah alasan kenapa dia bersikap kurang ajar dan tidak begitu sedih saat Ibunya meninggal.

“Anda ini sudah menghancurkan hidup keluarga saya. Anda tau, sampai ayah saya meninggal, dia hidup bersama istri yang nggak pernah mencintai dia”, Laras semakin frustasi.

Tapi sayangnya, Pak Jaya tidak merasa bersalah atas itu. Dia tidak merasa surat-suratnya ditulis untuk melukai siapapun, termasuk ayahnya Laras. Laras pun diusir dari rumah Pak Jaya setelah tanda terima surat itu akhirnya ditandatangani.

Lalu, walau mengaku tidak bersalah, Pak Jaya ternyata begitu terluka mendengar pengakuan laras. Dia pergi ke bar dan minum sampai pagi.

Laras menemukan Pak Jaya jatuh di jalanan dan dia kembali kerumah Pak Jaya untuk menjaganya.

Saat itu, hubungan mereka perlahan mencair. Mereka berdua saling mengenal lebih dalam. Saling tau kalau mereka sama-sama bisa nyanyi dan main piano.

Sampai sejauh ini, aku suka bagaimana film ini menyajikan konfliknya.

Tapi aku nggak suka saat adegan berikutnya, saat mereka menyanyi sambil bermain piano bersama di rumah Pak Jaya, gestur mereka seperti dua orang yang saling jatuh cinta.

Adegan berikutnya semakin membuatku tercengang, mereka terbangun di sebuah sofa yang sama, dalam keadaan berpelukan.

Ini menjijikan menurutku.

Hubungan cinta seorang perempuan muda dengan kekasih lama Ibunya ?

Hubungan macam apa itu?

Aku terlanjur kecewa, tapi karena film sudah mau berakhir, aku memutuskan menyelesaikannya sedikit lagi.

Adegan berikutnya laras menyapa Pak Jaya yang bangun beberapa saat setelah itu terbangun.

“Pagi”, sapanya dengan nada lembut dan tatapan manis. Aku semakin jijik.

“Pagi”, jawabnya Pak Jaya.

Lalu Laras menyerahkan sebuah amplop, yang aku duga adalah tiket pesawat.

“Sudah saatnya mengiklhaskan semuanya, dan pulang ke Indonesia”, kata Laras.

“Apa yang membuat kamu berpikir saya akan kembali ke Indonesia? Kamu pikir, kehadiran kamu disini akan mengubah semuanya? Kamu pikir gampang buat saya terima kenyataan, merelakan mimpi-mimpi saya, negara saya, cinta saya? Kamu pikir gampang hidup sebagai sarjana nuklir tapi bekerja sebagai janitor puluhan tahun lamanya?”, Pak Jaya menjawab laras dengan nada berapi-api.

“jangankan mengikhlaskan semuanya, bahkan maafin diri sendiri aja nggak bisa”, kata laras sambil mengemasi barang-barangnya. Jadwal penerbangannya sebentar lagi. Dia keluar dari rumah itu tanpa sepatah katapun lagi.

Pak Jaya membuka kembali kotak surat dari kekasih lamanya itu, dan menemukan sebuah surat balasan yang isinya adalah menjelaskan tentang bagaimana Laras mirip sekali dengan dirinya, dan dia merasa seolah menemukan dirinya sendiri di dalam Laras.

Aku tidak begitu paham adegan ini, tapi yang aku lihat setelahnya, Pak Jaya menyusul Laras dan menemukan dia di jalan. Adegan film ini berakhir dengan mereka berpelukan dan Pak Jaya mencium kening Laras.

Ya, sampai film berakhir, aku kecewa sekali dengan skenarionya. Aku tidak menyangka yang terjadi diantara mereka adalah hubungan seperti sepasang kekasih. Hubungan percintaan anak muda dengan orang tua saja sudah sangat menjijikan menurutku, apalagi kalau lawan jenisnya adalah mantan pacar Ibunya sendiri.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berpisah di Bandara

  Kami berpelukan lama sekali, sebelum akhirnya memutuskan keluar dari pintu kamar dan menuju lobby hotel. Dengan ransel dipunggung belakang dan tas kecil di bahu kiri, aku melangkah disebelahnya menuju meja resepsionis. “Checkout kak”, kataku ke mba resepsionis. Oke sebentar saya cek ya, katanya merespon kami. “oke, atas nama Bapak Surya sudah selesai, terimakasih”, katanya ramah. Kami lalu meninggalkan hotel dan menuju rumah kost aku untuk menyimpan barang-barangku, lalu makan siang, dan kemudian berangkat mengantar dia ke bandara. Itulah makan siang terakhir kami sebelum dia kembali ke Tokyo, kota tempatnya bekerja. Aku melihat mukanya lamat-lamat. Aku memperhatikannya lama sekali, menikmati detik-detik terakhir bersamanya sedekat ini. Dan ketika dia sedang asik menikmati potongan paha ayamnya, aku menitikkan air mata lagi –entah untuk kali keberapa. Aku buru-buru menghapus air mata yang jatuh itu, takut dia menyadarinya. Tahun lalu, aku juga ditinggalkan saat dia pertam

Nyaman Tak Harus Saling Bicara

Sejak menikah, nggak ada lagi orang yang bisa membuatku merasa nyaman lebih dari suamiku. Bahkan teman-temanku sendiri nggak lagi bisa membuatku senyaman dulu. Kok, bisa gitu ya ? Padahal, dulu bersama teman-teman dekat aku bisa nyaman ngapain aja, bahkan bisa nyaman tanpa saling ngobrol. Tapi sekarang kok rasanya beda. Saat bersama mereka, aku berusaha keras mencari topik obrolan. Yang sebenarnya, nggak ada lagi topik yang bisa dibahas karena sudah lama terpisah jarak. Lalu kebersamaan kami rasanya tidak semenyenangkan dulu, bahkan terasa awkward . Justru sekarang, cuma suamiku satu-satunya orang yang membuatku merasa nyaman di dekatnya.  Aku pernah baca sebuah tweet , isinya begini, “banyak orang bilang, “carilah pasangan yang menyenangkan ketika diajak mengobrol, karena 70% pernikahan isinya adalah saling bercerita dengan pasangan”, kalau aku mungkin sedikit berbeda. Carilah pasangan yang tetap membuatmu nyaman meskipun kalian hanya saling diam tak saling bicara” Aku langsun

How to Move On

  Kadang,  it's most likely often, move on  bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Kenangan-kenangan yang muncul di galeri  handphone, instagram story archives,  dan  memories  di  facebook , semuanya seolah bekerja sama untuk membuat kamu menolak melupakannya. Bahkan, kepingan-kepingan kenangan itu masih utuh di sudut kepala, membuatmu semakin frustasi dan tidak ingin menerima kondisi sulit ini. Tidak peduli sebanyak apapun waktu berlalu, sejauh apapun dia pergi darimu, sebesar apapun usahanya untuk menjauh dari hidupmu, tidak membuatmu lantas menerima kenyataan bahwa kalian sudah berpisah. Percayalah, hal itu sungguh wajar. Tidak ada yang akan menyalahkanmu atas perasaan yang masih utuh itu. Pun, tidak ada yang akan memaksamu untuk secepat itu membunuh semua rasamu untuknya. Kamu berhak bersedih,  so take your time . Take your time to accept. Take your time to heal by accepting. Kamu boleh bersedih bertahun-tahun, tapi pastikan kamu ikhlas. Pastikan kamu sudah rela. Tidak ada gunany