Langsung ke konten utama

Menolak Lupa

Lihatlah saat ini, ketika teman se-kontrakan tengah sibuk nobar drama korea, aku malah memilih menyendiri dikamar ini. Menutup pintu serapat mungkin, lalu menguncinya, agar tak satupun bisa masuk lalu menggangu kesendirianku. Aku memang sedang tak ingin di ganggu. Aku ingin sendirian. Melepaskan semua beban yang sudah tak sanggup kupikul lagi. Aku lelah, sangat lelah. Aku berfikir dengan menangis aku akan merasa lega walau aku tau pada kenyataannya itu tak merubah apapun.

Pikiranku masih saja membayangkan kejadian tempo hari, saat aku melihat kekasihku –mantan kekasihku, berdiri berhadapan dengan kekasihnya. Dari kejauhan aku dapat menangkap binar – binar bahagia dari wajahnya. Mereka tidak malu – malu mengubar kemesraan di depan umum. Dan lagi, walau dengan jarak sejauh itu, kedua telingaku masih mampu mendengar dia memanggil kekasihnya dengan sebutan ‘sayang’. Sebutan yang dulu adalah milikku. Sebutan yang kerap dia sebutkan ketika pagi hari aku terbangun dari tidurku. Namun kini, dengan telingaku sendiri, aku mendengar sebutan itu dia tujukan untuk orang lain. Seketika hatiku hancur, kakiku lemas seakan tak kuat lagi menahan tubuhku. Lagi, pertahananku runtuh.

Saat itu, kami sedang berada pada suatu pertunjukkan sebuah organisasi. Aku turut hadir bersama teman – temanku. Aku tau dia juga datang ke pertunjukan. Karena kami berasal dari organisasi yang sama. Tapi, aku samasekali tak menyangka bahwa kekasihnya juga akan terlihat di pertunjukkan itu.
Aku berlari sejauh mungkin dari tempat itu, tetap bertahan disana hanya akan membuat hatiku semakin kacau. Dengan langkah tergesa, aku berbalik dan berlari tak tentu arah. Ketika sampai disuatu tempat yang menurutku sepi, air mata yang sedari tadi ku tahan tumpah seketika. Aku menangis tanpa suara, takut – takut ada yang mendengar. Aku benar – benar terisak, sampai tak menyadari kehadiran seorang gadis mengenakan gamis merah muda di belakangku. Dengan lembut, dia mengusap punggungku dengan tangannya, menenangkanku. Gadis itu, sekalipun tak aku jelaskan, dia mengerti apa yang terjadi. Dia kemudian maju mendekat, duduk disebelah kiriku.
“Nangis aja Ryn. Gak apa – apa”, dia mengelus punggungku dengan tangannya.
Aku menghentikan tangisku. Menatap gadis itu. “Aku gak kuat Ra, rasanya sakit banget”, akuku.
“kamu kuat Ryn. Aku tau kamu cewek kuat. Tapi kamu aja yang gak menyadari itu”
“maksud kamu?”
“mau denger pendapat aku?”
Aku mengangguk.
“Aku ngerti ini sakit dan berat banget buat kamu. Aku tau perasaan kamu hancur ngeliat Van sama cewe barunya. Tapi Ryn, kamu gak punya pilihan selain nerima. Pakai pikiran kamu. Jangan selalu mendengarkan hati. kadang hati hanya hanyut oleh perasaan – perasaan yang membuat kamu menderita. Aku memang gak ngerasain apa yang kamu rasa. Tapi aku sahabat kamu Ryn. Aku ngerasain sakit ngeliat sahabat aku kayak gini terus”

Diam sejenak, Tara melanjutkan kalimatnya. “selama ini kamu berfikir bahwa kamu masih mencintai dia. tapi kamu baik – baik aja kan selama ini? kamu masih bisa jalanin hari – hari kamu dengan semangat walau kamu tau di luar sana, mantan pacar kamu itu menikmati hidup bersama perempuan lain”
“tapi kenapa aku runtuh sekarang Ra? Aku bahkan gak sanggup nahan sakit saat ngeliat dia mesra – mesraan sama cewek itu”
“Itu karena kamu berpikir bahwa kamu mencintai dia. padahal nggak Ryn. Kamu gak mencintai dia lagi. Kamu Cuma gak mau lupain dia. kamu masih berharap kalau suatu saat nanti kalian bakal sama – sama lagi. Tapi kamu lupa Ryn. Dia bukan Van yang dulu. Dia berubah menjadi lelaki jahat. Dia bukan Van-mu lagi”
Tara meneguk saliva, memperbaiki posisi duduknya.
“coba kamu pikir Ryn. Kalau memang Van masih sayang sama kamu, dia gak mungkin tega nyakitin kamu bertahun – tahun. Dia dengan senang hati menjalin hubungan dengan perempuan lain, sementara dia tau bahwa kamu masih menyimpan rasa terhadapnya. Apa yang kamu harapkan dari lelaki macam itu Ryn? Apapun alasannya, dia gak berhak untuk menyakiti kamu Ryn. Dia gak berhak.
“…”

Tidak ada yang keluar dari mulutku. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku. Mencerna kalimat panjang Tara.
Tara menatap lembut mataku, seolah memberi kekuatan.
“Lupain dia Ryn. Aku yakin kamu bisa”
“…”

Aku tak menyanggah. Hanya mendengarkan saja. Dalam hatiku, aku meyakini bahwa yang Tara katakan ada benarnya. Bertahun – tahun aku hanyut dalam perasaan sakit, cemburu dan putus asa. Aku terlalu banyak menggunakan hatiku. Pernah suatu hari aku merenung, lalu bertanya pada diriku sendiri “masihkah aku mencintainya?”, Bahkan ketika pikiranku bilang tidak, hatiku masih bertahan dengan jawaban ‘iya’.

Kalimat Tara sedikit banyak menyadarkanku. Selama ini aku memang baik – baik saja. Aku menjalani hidupku dengan penuh semangat. Aku hanya runtuh pada saat aku melihat Van. Itu karena aku menolak lupa, aku menolak untuk menyadari bahwa aku memang sudah tak lagi mencintainya.
                                                                        ¤¤¤

 Seringkali manusia seperti itu. Hanya karena cinta yang begitu besar pada masa lalunya, dia menganggap bahwa cinta itu tak mungkin hilang. Padahal –tanpa disadari, rasa itu perlahan memudar seiring waktu berjalan. Hingga tiba pada suatu titik dimana dia memang sudah melupakan, namun menolak untuk lupa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berpisah di Bandara

  Kami berpelukan lama sekali, sebelum akhirnya memutuskan keluar dari pintu kamar dan menuju lobby hotel. Dengan ransel dipunggung belakang dan tas kecil di bahu kiri, aku melangkah disebelahnya menuju meja resepsionis. “Checkout kak”, kataku ke mba resepsionis. Oke sebentar saya cek ya, katanya merespon kami. “oke, atas nama Bapak Surya sudah selesai, terimakasih”, katanya ramah. Kami lalu meninggalkan hotel dan menuju rumah kost aku untuk menyimpan barang-barangku, lalu makan siang, dan kemudian berangkat mengantar dia ke bandara. Itulah makan siang terakhir kami sebelum dia kembali ke Tokyo, kota tempatnya bekerja. Aku melihat mukanya lamat-lamat. Aku memperhatikannya lama sekali, menikmati detik-detik terakhir bersamanya sedekat ini. Dan ketika dia sedang asik menikmati potongan paha ayamnya, aku menitikkan air mata lagi –entah untuk kali keberapa. Aku buru-buru menghapus air mata yang jatuh itu, takut dia menyadarinya. Tahun lalu, aku juga ditinggalkan saat dia pertam

Aku Berubah

Malam ini, aku ingin cerita tentang beberapa hal yang sudah berubah di diriku. Tentu saja perubahan ini terjadi setelah aku memutuskan punya hubungan dengan seseorang. Tanpa memperpanjang waktu, mari kita ulas satu persatu. 1. Sebelum bertemu denganmu, hidupku bahagia. Semenjak bertemu denganmu, ku makin bahagia. Okay, itu lirik lagu. Tapi lirik itu benar adanya. Lirik itu benar-benar terjadi di hidupku. Sebelum bertemu dia, aku bahagia dengan kesendirianku. Punya teman yang banyak tidak begitu membuatku depresi walau tidak punya pacar. Hanya saja, aku sedikit merasa kesepian karena tidak ada yang mengucapkan selamat pagi ketika aku bangun tidur, dan tidak ada yang mengucapkan selamat malam disaat ingin tidur. Sejak bertemu dengannya, aku semakin semangat bangun pagi, karena aku tau aku harus membangunkan dia juga. Melihatnya bangun tidur adalah mood booster buatku. Aku juga semakin tidak ingin tidur ketika malam hari, karena ingin terus melihat wajahnya di layar handphone saat v

Nyaman Tak Harus Saling Bicara

Sejak menikah, nggak ada lagi orang yang bisa membuatku merasa nyaman lebih dari suamiku. Bahkan teman-temanku sendiri nggak lagi bisa membuatku senyaman dulu. Kok, bisa gitu ya ? Padahal, dulu bersama teman-teman dekat aku bisa nyaman ngapain aja, bahkan bisa nyaman tanpa saling ngobrol. Tapi sekarang kok rasanya beda. Saat bersama mereka, aku berusaha keras mencari topik obrolan. Yang sebenarnya, nggak ada lagi topik yang bisa dibahas karena sudah lama terpisah jarak. Lalu kebersamaan kami rasanya tidak semenyenangkan dulu, bahkan terasa awkward . Justru sekarang, cuma suamiku satu-satunya orang yang membuatku merasa nyaman di dekatnya.  Aku pernah baca sebuah tweet , isinya begini, “banyak orang bilang, “carilah pasangan yang menyenangkan ketika diajak mengobrol, karena 70% pernikahan isinya adalah saling bercerita dengan pasangan”, kalau aku mungkin sedikit berbeda. Carilah pasangan yang tetap membuatmu nyaman meskipun kalian hanya saling diam tak saling bicara” Aku langsun