Aku bukan orang baik. Tapi, aku juga nggak jahat. Seperti layaknya manusia pada umumnya, aku adalah orang yang biasa-biasa saja. Satu hal yang aku sadari adalah aku nggak bisa fake. Kalau aku tidak menyukai seseorang, kalian langsung bisa melihat itu dengan jelas dari wajahku. Aku tidak akan tersenyum palsu di depan orang yang tidak aku senangi. Aku tidak akan pura-pura bahagia ketika sedih dan tidak akan pura-pura ceria disaat badmood.
Aku suka berteman dengan siapa saja.
Tapi sekali mereka menyakitiku, aku mungkin tidak bisa memaafkannya begitu
saja. Jikapun bisa, kenangan buruk yang mereka buat tidak akan mudah untuk aku
lupakan.
Aku juga mudah menyayangi seseorang.
Entah itu pasangan atau teman. Sekali aku memilih punya hubungan, aku akan menyayangi
mereka dengan tulus, dan percaya apapun yang mereka katakan. Aku tidak suka
berburuk sangka. Aku menganggap semua orang tulus seperti rasa tulusku kepada
mereka. Maka, sekali dikhianati, aku akan merasakan sakit yang luar biasa.
Mudah sekali menyakitiku, bukan?
Aku juga kadang-kadang rela
dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu. Orang-orang yang aku sayangi. Karena
aku tau, kapanpun aku juga bisa memanfaatkan mereka. Bukankah kita berteman
untuk saling memanfaatkan? Dalam konotasi positif tentunya.
Aku tipe orang yang terlihat kuat
dari luar. Tipe cewek tomboy. Apa itu feminim? Aku bahkan nggak tau cara make-up
yang benar. Aku cukup mengoleskan day cream dan sedikit lipstick atau lip cream
saat akan berpergian. Pakai baju dan jilbab paling simple. Anti ribet-ribet club.
Kalian tau? Aku bahkan bisa angkat galon air 25 liter dan memindahkan motor
tanpa kuncinya di parkiran. Kurang strong apa coba? Nggak bermaksud
nyombong, aku cuma memberikan gambaran bagaimana aku tidak feminimnya aku.
Tapi, apakah aku bangga menjadi tomboy?
Tentu tidak. Ada saat-saat dimana aku ingin menjadi seperti cewek feminim. Aku ingin
memakai pakaian yang terlihat anggun, ingin pakai heels dengan nyaman dan make-up
yang proper. Tapi menyadari ketidakmampuanku akan itu, aku memilih menerima
diriku apa adanya. Bukankah penerimaan terhadap diri sendiri adalah hal yang
paling sulit dilakukan? So, proud of me because I do.
Aku suka membantu orang. Tapi nggak
suka kalau dipaksa bantu. Aku akan bantu siapa saja selagi bisa. Tapi jangan paksa
kalau aku bilang nggak. Siapapun nggak suka dipaksa, kan? Aku bahkan nggak suka
pamrih kalau membantu orang. Jadi cukup, aku nggak akan mengorbankan diri
sendiri untuk membantu hal-hal yang memberatkan aku. Dulu, aku mungkin begitu. Tapi
sekarang aku lebih mengutamakan diri sendiri. Belajar mendengar diri sendiri. Aku
ingin istirahat kalau aku capek, aku ingin tidur kalau aku ngantuk, aku nggak
mau diajak ngopi kalau lagi pengen rebahan. Karena buat apa mengorbankan diri
sendiri demi kepuasan orang lain?
Sebenarnya, awalnya aku tipe orang
yang suka nggak enakan. Nggak enakan kalau menolak ajakan orang. Nggak enakan
kalau bilang “nggak” tiap kali ada yang minta aku melakukan sesuatu. Tapi makin
dewasa, aku semakin berpikir;
Kita tidak
akan bisa memuaskan semua orang.
Bahkan, sebaik apapun kita, akan selalu
ada orang-orang yang tidak puas dengan perlakuan kita terhadap mereka. Oleh karena
itu, aku memilih memuaskan diri sendiri saja, dan orang-orang yang berarti
untukku. Oh, tentu itu tidak egois. Egois dan self love itu hal yang
beda.
Jadi, selagi bisa, sayangi diri
sendiri dulu ya, teman-teman.
day 2?
BalasHapus