Langsung ke konten utama

Gimana Rasanya Kena Covid?

Aku sudah melakukan isolasi mandiri di rumah sejak tanggal 16 Oktober. Berarti hari ini, tepat 26 hari aku mendekam disini. Tidak ada siapa-siapa yang bisa aku temui. Tidak ada ngopi-ngopi cantik yang biasa aku lakukan dengan teman-temanku untuk melepas penat sehabis bekerja. Tidak ada lagi liburan singkat di akhir pekan. Tidak ada kerjaan menumpuk yang selalu harus kuselesaikan tepat waktu.

Kini semuanya terasa asing bagiku. Aku bukan introvert yang suka menyendiri. Aku lebih suka keramaian, bersama orang-orang yang bisa kuajak bicara dan berdiskusi. Biasanya, selalu ada teman-teman yang bisa diajak pergi. Mereka akan bersedia hanya dengan satu kode di whatsapp group seperti, "lagi pada ngapain guys?", mereka langsung paham kalo itu adalah kode ajakan keluar. Dan ditambah lagi selalu ada saja kegiatan-kegiatan yang harus aku hadiri. Maklum lah, kegiatan pramuka itu, nggak ada habisnya. Selama 6 tahun lebih di kota ini, aku hampir tidak pernah berada di rumah kecuali untuk mandi dan tidur. Aku menghabiskan hampir seluruh waktuku di luar rumah.

Pada suatu sabtu siang, ketika aku sedang bersantai menikmati weekend sambil rebahan, entah kenapa aku merasa sesuatu yang aneh dengan hidungku. Aku mengendus-ngendus dan menemukan diriku tidak bisa mencium bau apapun. Karena curiga, aku mencoba cium bau parfumku, body lotion, minyak kayu putih, dan semua benda-benda yang ada di kamar, dan hasilnya sama. Indera penciumanku sepenuhnya menghilang. 

Karena ketakutan, aku mengambil handphone dan mencari menu dial. Aku menekan satu nomor yang begitu aku hafal, nomornya Rajul, salah satu sahabat terdekatku. Dering mengisi ruangan kamarku. Namun sampai diujung panggilan, dia tidak juga mengangkat. Aku semakin panik. Aku tau, kehilangan indera penciuman adalah gejala awal Covid. 

Tidak menyerah, aku mencoba menghubungi Rajul untuk kedua kalinya. Kali ini panggilan tersambung. Dengan suara terisak, aku memberi tau dia apa yang terjadi. 

"Jul... hiks. Aku ga bisa nyium bau apa-apa", kataku.

"hah? masa? coba lagi", katanya, tenang.

"udah aku coba semuanya, ngga bisa kecium juga", kataku lagi.

"yaudah, gapapa tu. Nanti aku antar vitamin sama madu. Ke istarahat dulu dirumah, ngga usah kemana-mana". Lagi-lagi, dia mencoba menenangkan.

Nggak lama kemudian, Lidya, salah satu sahabatku juga, datang kerumah mengantarkan vitamin, madu dan buah, menggantikan Rajul yang nggak bisa datang karena lagi menunggu orangtuanya di rumah sakit. Lidya datang dan kami bicara jarak jauh. Kami berdua sama-sama memakai masker. Dari bawah, dia mendongak berbicara kepadaku yang duduk di lantai atas. Kami berdua ketawa. Rasanya kayak diperolok oleh Corona ini. 

"Mana ada korona tu, ngga mungkin Mir", katanya.

Dia menyangkal tapi tetap nggak berani dekat-dekat denganku. Ironis. Kami ngobrol hanya sepuluh menit dan kemudian dia memutuskan pulang. Akupun masuk kembali ke kamar dan mencari tau bagaimana tatacara swab test, untuk memastikan keberadaan virus ini. Aku harus tau ini benar virus atau nggak untuk menjaga kesalamatan orang-orang di sekitarku. Setelah menulusuri instagram, aku menemukan sebuah akun yang bercerita tentang prosesnya melalui Covid. 

Dari akun itu lah aku akhirnya tau, kita bisa melakukan swab test secara gratis hanya dengan membawa fotokopi KTP, di rumah sakit umum Zainal Abidin. Karena pelayanan libur di akhir pekan, aku harus menunggu sampai hari senin. Aku kemudian menghubungi kantor, dan menceritakan kejadian ini. Aku minta izin untuk tidak masuk sampai keadaanku membaik. Weekend itu, aku menghabiskan waktu dengan di rumah saja sesuai anjuran Rajul. Aku membunuh semua pikiran negatif dengan menonton drama korea, membaca buku, dan menelfon seseorang.

Hari senin pun tiba. Dengan semangat, pagi itu aku melangkahkan kaki ke rumah sakit. Pikiranku sudah sehat. 90 persen aku yakin, aku nggak kena virus. Jadi, aku harus membuktikannya dengan swab test. Jam 7.50, aku sudah berada di Poli Pinere, Poliklinik yang khusus menangani Covid di Zainal Abidin. Setelah mengambil nomor antrian, aku menunggu giliranku tiba. Ini akan jadi kali pertama aku melakukan swab test. Membayangkan hidungku dicolok pakai alat yang mirip cottonbud, membuatku cukup merinding. 

Kalo teman-teman mau tau, sebelum di swab test, aku terlebih dahulu diperiksa oleh dokter. Mereka bertanya seputar gejala apa saja yang aku alami, dan dengan siapa saja aku kontak selama beberapa hari terakhir. Aku menjelaskan dengan rinci, aku mengalami batuk, sempat demam, flu, dan anosmia (hilang indera penciuman). Dokter kemudian memberikan surat pengantar untuk aku bawa sebagai syarat di tempat antrian swab test. Tepat jam 10.00 WIB semua prosesnya selesai. Tapi hasil testnya baru bisa aku dapatkan satu hari setelahnya.


Hari selasa, aku datang dengan semangat yang sama. Dengan pemikiran yang masih sama, bahwa aku baik-baik saja, dan tidak ada virus itu dalam tubuhku. Aku bahkan sempat janjian dengan Lala, untuk bantu dia membuat laporan keuangan kegiatan dirumahku.

Aku bahkan sudah menyusun rencana, setelah ngambil hasil, hasilnya negatif, kemudian aku tunggu Lala datang, meminta dia bawa juice pokat, lalu kami akan menghabiskan waktu berdua di rumahku. Besoknya, aku akan masuk kantor seperti biasa. Mengucapkan selamat pagi kepada teman-teman sekantor dengan wajahku yang ceria. 

Tapi kenyataannya tidak begitu, sodara-sodara. Selembar surat dengan font warna merah dengan tulisan "Positif SARS Cov-2" menghancurkan semua rencanaku, mengikis habis semangatku. Aku terduduk lemas di emperan rumah sakit dengan pikiran kosong. Kalau ini drama Indosiar, mungkin adegan ini akan dilengkapi dengan backsound "Ku Menangis"nya Rossa.


Ketika aku divonis penyakit mematikan ini –setidaknya itu yang aku tau ketika pertama kali berita tentang Corona heboh, duniaku seperti berhenti berputar. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana rasanya menghabiskan waktu selama 14 hari di rumah sendirian. Maka hari itu, dengan pikiran yang kacau, selepas mengambil hasil diagnosa di rumah sakit, aku mengendarai motor tanpa tujuan. Rasanya, aku ingin bilang, “nggak mungkin ini terjadi. Ini pasti hasil yang salah”. Aku berusaha menyangkal.

Motorku terus melaju melewati riuhnya jalanan Banda Aceh. Aku nggak mau pulang, karena aku tau setelah ini akan nggak akan bisa kemana-mana lagi. Beberapa lama kemudian, aku mengarahkan stang ke kiri, menuju sebuah taman yang sepi pengunjung. “Aku bisa menenangkan diri disini sementara”, batinku. Aku memilih duduk di bangku ayunan, di area main anak-anak. Pikiranku kacau, tapi air mataku bahkan nggak bisa keluar. Aku marah. Entah kepada siapa. Terlalu klise untuk menyalahkan diri sendiri.

Akupun mengeluarkan hasil diagnosa, memotretnya dengan kamera handphone, lalu mengirim foto itu ke group keluarga dan teman-teman terdekat. Keluarga menelepon satu persatu. Dari mulai orangtua, abang-abang, adikku, dan sepupu-sepupu. Sebagian panik, Sebagian lagi biasa aja. Karena virus ini sudah menyebar entah kemana-mana, sebagian orang memang berpikir ini wajar terjadi dan tidak berbahaya.

Abang ku, beberapa kali menelepon menanyakan keadaan. Dia cukup khawatir, tapi tetap tenang. Aku bilang bahwa aku baik-baik saja dan nggak sakit. “Kalau nggak sakit, bilang mamak dek. Tadi mamak nangis nelfon abang”, katanya. Aku cukup tersentuh mendengar kalimat terakhir abangku. Aku baru tau, kalau mamaku bisa sepanik itu. Wajar sih, namanya orangtua. Beberapa teman yang bahkan jarang kontakan, juga menelepon begitu tau keadaanku. 

Aku bukannya takut akan mati. Aku tau, jika waktunya tiba, sedetikpun nggak terlambat malaikat maut mencabut nyawa manusia. Tapi aku nggak mau isolasi. Itu lebih menakutkan dalam pikiranku.

Aku ngga ngerti darimana virus ini berasal. Kenapa hanya aku yang terpapar sedangkan orang-orang disekitarku tidak? Bagaimana mungkin virus ini diciptakan hanya untukku? Ah, ini terlalu dramatis. Tapi aku bicara fakta. Di antara sekian banyak teman-temanku yang melakukan test, hanya aku yang dinyatakan positif. Aku bersama mereka hampir setiap hari. Kenapa virus itu hanya memilih masuk ke dalam tubuhku? Apa sih, spesialnya tubuh ini?

***

Selama 14 hari sejak divonis Covid, aku berdiam diri di rumah. Sama sekali nggak kemana-mana. Semua keperluanku diantar oleh teman-teman dekatku. Ada Lidya, Rajul, Tama dan Irwan yang selalu siaga. Aku hanya perlu mengirimkan whatsapp berisi daftar kebutuhanku seperti bahan makanan dan obat-obatan, lalu mereka bergantian datang mengantar dan menggantungnya di pagar rumahku. Sesekali, abang ku juga datang mengantarkan lauk masakan istrinya, dengan begitu, aku nggak perlu repot-repot masak untuk makan. Teman-teman kantor memberi semangat dengan mengirim vitamin. Ada juga yang sengaja mengirimkan Go-Pay supaya aku bisa jajan Go-Food. Teman-teman purna DKD juga pada suatu malam datang secara tiba-tiba, membawakan aku sekantong plastik Indomaret berisi makanan bersama dengan catatan berisi ucapan semangat yang kemudian aku temukan di sehelai tisu. Ah, aku memang beruntung memiliki support system yang baik.

Aku mencoba menerima kenyataan dan menikmati me time yang berlebihan ini, dengan terus berusaha berpikir positif. Hari ke-14 pun tiba. Dengan semangat membara, aku datang ke Prodia untuk melakukan Rapid Test. Kenapa nggak swab test lagi? Swab test itu sakit, teman-teman. Perih banget. Rasanya kayak hidung kita dimasukin boncabe. Di tambah biayanya yang mahal, aku jadi ciut. Rumah sakit memang nggak meng-cover biaya swab test dua kali. Jadi, dengan satu KTP, kita cuma dapat sekali jatah swab test gratis.

Kali ini, aku yakin hasilnya pasti baik. Kenapa aku begitu yakin? Karena sebenarnya Corona ini nggak sesakit yang dipikirkan orang-orang. Aku bahkan ngerasa tubuhku nggak sakit apa-apa. Aku masih sanggup olahraga, nyuci pakaian, masak, nyetrika, nyapu, ngepel, sama seperti orang sehat lainnya. Sesekali saja aku ngerasa batuk dan dadaku sakit seperti ditekan, itu juga nggak sakit-sakit banget karena masih bisa dikontrol.

Aku datang ke Prodia pagi, lalu kembali sorenya untuk mengambil hasilnya. Di luar dugaan, hasilnya masih sama. Aku bisa melihat dokter membulatkan bagian bertuliskan “Reaktif” dikertas dengan logo Prodia itu. What the fuck, men? Aku sedang dipermainkan. Gimana mungkin virus itu masih ada, sedangkan tubuhku nggak merasa sakit.



Untuk kedua kalinya, aku kecewa dan marah dengan keadaan. Membayangkan diriku harus memperpanjang masa isolasi saja membuatku begitu frustasi. Tapi walaupun sulit, aku tetap melakukannya. Aku masih bersedia menyendiri di rumah. Menyibukkan diri dengan hal-hal yang aku bisa. Seminggu kemudian, aku kembali melakukan rapid test lagi dan membawa hasil yang sama buruknya. Aku makin frustasi. Why God this shit happens to me?



Tapi hati kecilku kemudian menjawab, “Dear, everything happens for a reason. It’s okay, you can still breathing. You can do anything after this, but please just stay at home, a little bit more

Aku bertanya dan menjawab sendiri semua pertanyaanku. Aku mengeluh lalu menghibur lagi diriku sendiri. Aku menangis putus asa, lalu mencari kesibukan untuk mengatasinya. Sekarang, aku merasa diriku punya dua kepribadian. Apakah ini tanda-tanda bipolar? Oh tidak!

Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, aku cukup beruntung. Walaupun virus ini menetap di dalam tubuhku, aku masih baik-baik saja. Aku nggak perlu tabung oksigen untuk membantuku bernafas. Aku masih bernafas layaknya orang sehat. Aku nggak harus berada dirumah sakit, disatukan dengan orang-orang yang positif corona lainnya. Dan yang paling penting, lidahku nggak mati rasa. Aku masih bisa menyantap makanan enak setiap hari.

Semua hal buruk, tidak sepenuhnya buruk. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Karena, selalu ada dua sisi dari setiap kejadian, kan? Kini aku sepenuhnya percaya, Allah tidak akan membiarkan aku lama-lama berputus asa. Akan ada hari baik dimana aku dinyatakan sembuh, dan bisa menikmati dunia luar seperti sebelumnya.

Dan sampai saat itu tiba, aku hanya perlu bersabar, bukan?

Komentar

  1. Kak Miraaaaaaaaa. My roommate in Unpad. Aaaah. Aku mengapresiasi upaya kak Mira utk tetap menyemangati diri sendiri. Lekas sehat kak. Selama imun tubuh kuat, corona akan segera pamit dan akan menyimpan imun yg lebih baik. Jgn stress yah kak. 💜

    BalasHapus
  2. Kak Miraaaaaaaaa. My roommate in Unpad. Aaaah. Aku mengapresiasi upaya kak Mira utk tetap menyemangati diri sendiri. Lekas sehat kak. Selama imun tubuh kuat, corona akan segera pamit dan akan menyimpan imun yg lebih baik. Jgn stress yah kak. 💜

    BalasHapus
  3. Kak Miraaaaaaaaa. My roommate in Unpad. Aaaah. Aku mengapresiasi upaya kak Mira utk tetap menyemangati diri sendiri. Lekas sehat kak. Selama imun tubuh kuat, corona akan segera pamit dan akan menyimpan imun yg lebih baik. Jgn stress yah kak. 💜

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berpisah di Bandara

  Kami berpelukan lama sekali, sebelum akhirnya memutuskan keluar dari pintu kamar dan menuju lobby hotel. Dengan ransel dipunggung belakang dan tas kecil di bahu kiri, aku melangkah disebelahnya menuju meja resepsionis. “Checkout kak”, kataku ke mba resepsionis. Oke sebentar saya cek ya, katanya merespon kami. “oke, atas nama Bapak Surya sudah selesai, terimakasih”, katanya ramah. Kami lalu meninggalkan hotel dan menuju rumah kost aku untuk menyimpan barang-barangku, lalu makan siang, dan kemudian berangkat mengantar dia ke bandara. Itulah makan siang terakhir kami sebelum dia kembali ke Tokyo, kota tempatnya bekerja. Aku melihat mukanya lamat-lamat. Aku memperhatikannya lama sekali, menikmati detik-detik terakhir bersamanya sedekat ini. Dan ketika dia sedang asik menikmati potongan paha ayamnya, aku menitikkan air mata lagi –entah untuk kali keberapa. Aku buru-buru menghapus air mata yang jatuh itu, takut dia menyadarinya. Tahun lalu, aku juga ditinggalkan saat dia pertam

Letters From Prague | Review

  Jadi, karena ngga bisa tidur semalam, I chose to watch a movie on Netflix . Ditemani nasi goreng buatan sendiri dan segelas coklat hangat, aku mulai berselancar mencari movie Indonesia di platform itu. A letter from Pague . That’s the title of movie. Aku memilih judul ini bukan tanpa alasan. Melihat covernya yang menunjukkan wajah artis kesukaanku, Julie Estelle dan Ibu Widyawati, aku menaruh harapan yang besar pada film ini. Menit pertama dibuka dengan adegan di sebuah kamar rumah sakit, seorang Ibu terlihat memakai pakaian pasien dan merebah di atas ranjang. Ada anaknya menemani sambil melihat keluar jendela. “sudah setahun Ibu nggak lihat kamu, sekarang malah muncul dan minta sertifikat rumah”, kata Ibu dengan suara berat. “Udahlah Bu. Aku kan nggak pernah minta apa-apa kan sama Ibu. Kali ini aja, aku minta tolong, pinjem sertifikat rumah” Adegan pertama sudah banyak menimbulkan tanda tanya. Aku semakin tertarik sama film ini. acting Widyawati dan Julie Estelle emang

Aku Berubah

Malam ini, aku ingin cerita tentang beberapa hal yang sudah berubah di diriku. Tentu saja perubahan ini terjadi setelah aku memutuskan punya hubungan dengan seseorang. Tanpa memperpanjang waktu, mari kita ulas satu persatu. 1. Sebelum bertemu denganmu, hidupku bahagia. Semenjak bertemu denganmu, ku makin bahagia. Okay, itu lirik lagu. Tapi lirik itu benar adanya. Lirik itu benar-benar terjadi di hidupku. Sebelum bertemu dia, aku bahagia dengan kesendirianku. Punya teman yang banyak tidak begitu membuatku depresi walau tidak punya pacar. Hanya saja, aku sedikit merasa kesepian karena tidak ada yang mengucapkan selamat pagi ketika aku bangun tidur, dan tidak ada yang mengucapkan selamat malam disaat ingin tidur. Sejak bertemu dengannya, aku semakin semangat bangun pagi, karena aku tau aku harus membangunkan dia juga. Melihatnya bangun tidur adalah mood booster buatku. Aku juga semakin tidak ingin tidur ketika malam hari, karena ingin terus melihat wajahnya di layar handphone saat v