Mengungkapkan sesuatu rasanya lebih enak ditulis daripada diucapkan. Ketika bercerita langsung ke seseorang, tanpa sadar kita berekspektasi tentang apa yang akan dia tanggapi, sehingga ceritanya ngga akan mengalir sebanyak apa yang kita pikirkan.
Jadi, hari ini aku mau menulis. Tentang perasaanku. Tentang sebuah hubungan yang baru saja aku jalin. Seseorang yang pernah ada di masa lalu, siapa sangka akan datang lagi di masa kini. Aku bahkan ga pernah memimpikan akan bisa bersamanya lagi, setelah hubungan singkat yang kami jalani ketika SMA dulu. Hubungan singkat yang membuatku kenal dengannya, menyukainya, dan...membuatku jatuh hati karena senyumannya yang hanya dia berikan kepadaku.
Setelah 9 tahun berlalu, instagram membuat kami saling menyapa lagi. Dengan dalih silaturrahmi, dia ngajakin ketemu. Dari situlah cerita dimulai.
***
Malam itu, kami membuat janji ketemuan. Kebetulan dia sedang ada di Banda Aceh. Dia main ke kotaku bersama temannya yang juga tinggal disini. Janji ketemuan terjadi secara tidak sengaja, ketika aku membuat instagram story dengan gambar uang lima puluh ribuan dan caption, "dapet duit jajan dari bos". Dia membalas story-ku beberapa menit setelah story itu termuat. "Bisa tuh buat nraktir aku eskrim", tulisnya di kolom DM. Dari basa basi itulah kemudian sebuah janji temu, dengan dalih silaturahmi, terjadi.
Karena tau dia pendatang dan nggak punya kendaraan, kami akhirnya sepakat agar aku menjemputnya ke rumah teman tempat dia menginap. Jam 8 malam setelah solat isya, aku bergegas kesana. Setelah 5 menit berlalu, aku menghentikan kendaraan roda dua milikku tepat di titik lokasi yang dia kirimkan. Tempatnya sama sekali nggak jauh dari rumahku. Sambil mematikan mesin, aku merogoh handphone dari dalam tas.
"Halo", sapanya dari ujung sana.
"Hai, kayaknya aku dah nyampe deh"
"Iya. Kayaknya aku liat deh", jawabnya.
Dia lalu keluar dari sebuah ruko yang letaknya persis di depanku. Aku deg-degan karena ini pertama kali aku melihatnya setelah 9 tahun berlalu.
"Mau kemana?", tanyaku canggung.
"Ya, terserah yang punya tempat"
Aku duduk menyamping di belakangnya. Aku dibonceng dia untuk pertama kalinya. Ketika pacaran tahun 2011 dulu, kami ngga pernah menghabiskan waktu berdua, karena masih sekolah dan tinggal di asrama. Yang kami bisa lakukan hanya sms-an, saling menatap kalo berpas-pasan di koridor sekolah atau ruang makan. Hubungan yang hanya bertahan tiga minggu itu, -kalo aku tidak salah ingat, tidak menyisakan banyak kenangan.
Satu-satunya yang aku ingat hanyalah, aku sering memperhatikan dia dari meja makan pada setiap jam makan di asrama. Dan kejadian paling alay yang sampai sekarang masih terngiang adalah, kami sempat tukeran kartu telepon. Di gazebo depan asrama, tanpa banyak bicara, tukeran nomor hp pun terjadi. Ngapain ya anak SMA pacaran pake tukeran nomor hp segala? Aku bahkan ga ngerti apa yang ada dipikiran kami saat itu.
Aku menuntunnya ke sebuah cafe yang nggak jauh dari dari tempat aku menjemputnya. Diperjalanan, kami banyak betukar kabar sehingga tidak terasa sampailah kami di depan cafe bernuansa kekinian di bilangan Lampineung. Tempat ini lebih rame dari yang aku bayangkan. Aku kemudian memilih sebuah meja di sudut, dia mengiyakan.
I have no idea what am I going to do with this guy. Tapi untungnya dia selalu melempar topik yang nggak membosankan. Kami bicara banyak malam itu. Tentang dia yang kerja di BukaLapak di Bandung sejak sebelum lulus kuliah. Tentang aku yang baru saja turun dari gunung di Aceh Tengah. Tentang dia juga suka hiking. Tentang dia yang akan di resign dari tempat kerja dan sudah diterima di sebuah perusahaan di Jepang, dan dalam waktu dekat akan pindah kesana. Tentang dia yang sepertinya nggak berencana menikah dalam waktu dekat. Tentang dia yang nggak mau kerja dekat-dekat dengan kampung halaman.
"Aku ngga berencana nikah dulu sih, soalnya mau nge-build karir dulu. Aku juga mau kerja sejauh-jauhnya dari kampung", katanya malam itu.
Jujur saja, malam itu, aku sudah percaya bahwa silaturahmi yang dia bilang, benar-benar silaturahmi tanpa ada maksud lain di baliknya. Sedikit harapan untuk menjadi seseorang special dihidupnya, pupus sudah bersama kalimat yang dia ucapkan.
Kata-katanya berhasil membuat aku menguburkan harapan itu dalam-dalam. Kami pun pulang. Aku mengantarnya. Lalu kembali kerumah dengan perasaan yang biasa saja. Begitu tiba dirumah, aku menemukan handphone ku menyala karena sebuah notifikasi whatsapp dari dia.
"Makasih uudah jadi ojek aku malam ini"
Akupun langsung membalas, "jadi aku cuma dianggap ojek nih?"
"Trus, mau dianggap apa lagi?", tanyanya.
Aku tidak merespon lagi, karena kecapean dan ngantuk, aku memilih tidur.
Aku baru membalas pesan dia keesokan harinya. Sejak saat itulah, kami jadi sering whatsapp-an. Apapun bisa jadi topik pembicaraan. Frekuensi chat semakin hari jadi semakin sering. Hingga suatu hari, dia bilang dia tertarik sama aku.
Aku kaget dan setengah nggak percaya. Tapi tetap meladeni chatnya. Waktupun berlalu. Aku mulai terbiasa dengan keberadaannya. Chat dari pagi, siang, dan malampun jadi hal yang wajar bagi kami.
Seminggu kemudian, dia datang kembali ke Banda Aceh. Kali ini, dia khusus menemuiku. Kami membahas tentang ketertarikannya padaku. Tentang aku yang juga tertarik padanya, tapi nggak mau keluar dari Aceh. Tapi setelah dipikir-pikir, ngga ada salahnya dicoba.
"Jadi, kita gimana?", tanyaku di penghujung makan malam kami.
" Ya.. Kita coba jalani aja dulu"
Pertemuan kedua dengannya malam itu membuat aku mengambil kesimpulan, hubungan baru dengannya baru saja dimulai.
Komentar
Posting Komentar