Langsung ke konten utama

Berpisah di Bandara

 Kami berpelukan lama sekali, sebelum akhirnya memutuskan keluar dari pintu kamar dan menuju lobby hotel. Dengan ransel dipunggung belakang dan tas kecil di bahu kiri, aku melangkah disebelahnya menuju meja resepsionis.

“Checkout kak”, kataku ke mba resepsionis.

Oke sebentar saya cek ya, katanya merespon kami.

“oke, atas nama Bapak Surya sudah selesai, terimakasih”, katanya ramah.

Kami lalu meninggalkan hotel dan menuju rumah kost aku untuk menyimpan barang-barangku, lalu makan siang, dan kemudian berangkat mengantar dia ke bandara.

Itulah makan siang terakhir kami sebelum dia kembali ke Tokyo, kota tempatnya bekerja. Aku melihat mukanya lamat-lamat. Aku memperhatikannya lama sekali, menikmati detik-detik terakhir bersamanya sedekat ini. Dan ketika dia sedang asik menikmati potongan paha ayamnya, aku menitikkan air mata lagi –entah untuk kali keberapa. Aku buru-buru menghapus air mata yang jatuh itu, takut dia menyadarinya.

Tahun lalu, aku juga ditinggalkan saat dia pertama kali ke kota itu. Tapi rasanya tidak sesedih ini.

Dan waktu makan pun selesai. Kami bergegas ke bandara. Disana, ada beberapa jam tersisa sebelum dia boarding. Dan ketika waktu boarding tiba, dia berpamitan denganku, aku mencium tangannya tapi nggak sanggup lagi menahan kesedihanku. Air mataku tumpah melepas kepergiannya. Dia akan pergi tanpa tau kapan akan kembali. dan yang lebih menyedihkan, aku nggak tau kapan bisa menyusulnya. 

Aku bersembunyi dibalik tembok bandara, takut orangtuanya melihat aku dalam keadaan menangis. Dan ketika aku pikir mereka sudah pergi, ternyata masih ada ayahnya yang tersisa, melihatku dengan mata memerah. Aku kikuk sekaligus malu. Tapi apa boleh buat, aku tidak punya pilihan, selain pergi dan berpamitan pada ayah mertuaku, dengan mata berkaca-kaca.

Akupun beranjak dari parkiran bandara, dengan ditutupi kaca helm, air mataku jatuh sejadi-jadinya. Aku menangis sepanjang jalan. Aku, sungguh sesedih itu.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Letters From Prague | Review

  Jadi, karena ngga bisa tidur semalam, I chose to watch a movie on Netflix . Ditemani nasi goreng buatan sendiri dan segelas coklat hangat, aku mulai berselancar mencari movie Indonesia di platform itu. A letter from Pague . That’s the title of movie. Aku memilih judul ini bukan tanpa alasan. Melihat covernya yang menunjukkan wajah artis kesukaanku, Julie Estelle dan Ibu Widyawati, aku menaruh harapan yang besar pada film ini. Menit pertama dibuka dengan adegan di sebuah kamar rumah sakit, seorang Ibu terlihat memakai pakaian pasien dan merebah di atas ranjang. Ada anaknya menemani sambil melihat keluar jendela. “sudah setahun Ibu nggak lihat kamu, sekarang malah muncul dan minta sertifikat rumah”, kata Ibu dengan suara berat. “Udahlah Bu. Aku kan nggak pernah minta apa-apa kan sama Ibu. Kali ini aja, aku minta tolong, pinjem sertifikat rumah” Adegan pertama sudah banyak menimbulkan tanda tanya. Aku semakin tertarik sama film ini. acting Widyawati dan Julie Estelle emang

Aku Berubah

Malam ini, aku ingin cerita tentang beberapa hal yang sudah berubah di diriku. Tentu saja perubahan ini terjadi setelah aku memutuskan punya hubungan dengan seseorang. Tanpa memperpanjang waktu, mari kita ulas satu persatu. 1. Sebelum bertemu denganmu, hidupku bahagia. Semenjak bertemu denganmu, ku makin bahagia. Okay, itu lirik lagu. Tapi lirik itu benar adanya. Lirik itu benar-benar terjadi di hidupku. Sebelum bertemu dia, aku bahagia dengan kesendirianku. Punya teman yang banyak tidak begitu membuatku depresi walau tidak punya pacar. Hanya saja, aku sedikit merasa kesepian karena tidak ada yang mengucapkan selamat pagi ketika aku bangun tidur, dan tidak ada yang mengucapkan selamat malam disaat ingin tidur. Sejak bertemu dengannya, aku semakin semangat bangun pagi, karena aku tau aku harus membangunkan dia juga. Melihatnya bangun tidur adalah mood booster buatku. Aku juga semakin tidak ingin tidur ketika malam hari, karena ingin terus melihat wajahnya di layar handphone saat v