Langsung ke konten utama

Ibu Rumah Tangga

Hari-hariku kini terlalui dengan kebiasan-kebiasaan baru. Bangun pagi-pagi, belanja ke pasar, lalu pulang kerumah dengan membawa sekantong belanjaan, menyiang ikan, mengiris bawang, cabai, tomat dan segala macam jenis bumbu masakan. Aku akan dengan telaten memasak makanan untuk disantap sebagai sarapan, makan siang dan makan malam oleh abang-abang dan adikku.

Awalnya, aku membenci kebiasaan ini. Bagaimanapun, aku terlahir sebagai anak yg sedikit manja -menyentuh dapur dirumah adalah keajaiban buatku dimasa sekolah. Dulu ketika aku masih tinggal dengan mamak, beliau akan senang hati memasak sendiri setiap hari tanpa harus melibatkan aku yang tidak bisa apa-apa (setidaknya menurutnya begitu). Aku menjalani waktu remajaku dengan banyak bermain.

Ketika mulai masuk kuliah, aku tinggal sendiri -dengan beberapa orang teman dengan menyewa sebuah kos-kosan dilingkungan sekitar kampus. Kesibukan kuliah dan berorganisasi membuatku hampir tidak pernah menyentuh dapur. Aku hanya memasak ketika waktu senggang dan itu hampir tidak terjadi dalam satu bulan satu kali.

Diakhir masa kuliahku, adikku mulai memasuki bangku kuliah juga. Dia diterima diperguruan tinggi yang sama sepertiku. Dan karena abangku memilih untuk menetap dan bekerja di Banda Aceh juga, hal itu membuat kami memutuskan untuk menyewa rumah dan tinggal bersama. Aku bukan lagi anak kos-kosan tetapi ibu rumah tangga buat mereka.

Memang tidak ada yg memaksaku untuk melakukan pekerjaan rumah sebanyak itu, tapi naluriku sebagai satu-satunya perempuan dirumah ini, membuatku melakukan hal demikian. Aku tetap melakukannya walaupun tidak suka. Waktu mainku jadi berkurang. Aku harus lebih sering dirumah ketimbang diluar. Aku frustasi.

Setelah wisuda, aku memutuskan untuk pulang kampung selama kurang lebih sebulan, untuk menenangkan pikiran dan memikirkan apa hal selanjutnya yg harus aku lakukan.

Aku pikir, kembali kekampung adalah pilihan yg tepat disaat kepala penat. Aku tidak ingin direcoki dengan kegiatan yg menguras energiku terlalu banyak. Dua hari pertama aku menikmati liburanku. Hari ketiga, keempat, dan seterusnya membuatku kebosanan. Aku tidak punya pekerjaan. Dan mamak tidak membiarkanku melakukan pekerjaan rumah.

Aku menjalani hari-hariku dengan hanya makan, tidur dan mandi. Sekali-sekali menonton tv, kadang-kadang pasrah saja saat mamak memilihkan siaran sinetron. Aku hampir mati kebosananan. Namun siapa sangka, hal inilah yang kemudian membuatku sadar bahwa selama ini aku terlalu banyak mengeluh. Diberi pekerjaan aku ingin istirahat, dikasih istirahat aku ingin melakukan kegiatan. Aku memang payah.

Tidak ingin lebih lama lagi dalam kesalahan yang sama, aku minta izin orangtua untuk kembali ke Banda Aceh. Menemani adik dan abang-abangku dirumah sewa yang kecil ini. Memasak untuk mereka, mencuci piring dan berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya. Tapi kali ini, aku tidak lagi terpaksa. Aku melakukannya dengan senang hati. Akupun mulai mengurangi kegiatan diluar rumah yang kurang bermanfaat. Dan lambat laun, aku mulai menyenangi kebiasaan baruku. Menjadi ibu rumah tangga, untuk saudara-saudaraku.

Kalau ditanya apakah aku bahagia, of course aku bahagia. Bahagia bukanlah tentang semewah dan sekeren apa kegiatan yang kita lakukan, tapi tentang bersyukur dan membuat diri menjadi bermanfaat untuk orang banyak, terutama keluarga sendiri.

Awal tahun 2019, Banda Aceh.
Mira Alfira

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berobat ke Dokter THT

Orang-orang yang sudah lama mengenal aku pasti tau kalau aku sering kesusahan bernafas, apalagi saat cuaca dingin. Aku biasanya mengabaikan penyakit ini karena hanya kambuh beberapa hari saja. Tapi, minggu lalu aku memutuskan untuk pergi ke Praktek dokter THT atas paksaan seseorang (read: pacarku). Dia khawatir ketika tau aku harus bernafas pakai mulut karena hidungku sedang kekurangan fungsinya. Biasanya, penyakitku hanya kambuh ketika cuaca dingin. Tapi aku baru sadar ternyata penyakit itu juga kambuh saat aku sedang merasa stres, panik dan khawatir terhadap sesuatu. Kebetulan aku sedang mengalami anxiety yang parah beberapa waktu terakhir karena sesuatu hal yang tidak bisa aku jelaskan. Semakin aku stres, semakin aku kesusahan bernafas.  Mulailah aku mencari dokter THT terbaik yang ada di Banda Aceh, kota tempat tinggalku saat ini. Pencarian di Google membawaku ke halaman website seorang dokter THT bernama Dr. Iskandar Zulkarnaen. Rame sekali yang memberi review bagus kep...

Gimana Rasanya Kena Covid?

Aku sudah melakukan isolasi mandiri di rumah sejak tanggal 16 Oktober. Berarti hari ini, tepat 2 6 hari aku mendekam disini. Tidak ada siapa-siapa yang bisa aku temui. Tidak ada ngopi-ngopi cantik yang biasa aku lakukan dengan teman-temanku untuk melepas penat sehabis bekerja. Tidak ada lagi liburan singkat di akhir pekan. Tidak ada kerjaan menumpuk yang selalu harus kuselesaikan tepat waktu. Kini semuanya terasa asing bagiku. Aku bukan introvert yang suka menyendiri. Aku lebih suka keramaian, bersama orang-orang yang bisa kuajak bicara dan berdiskusi. Biasanya, selalu ada teman-teman yang bisa diajak pergi. Mereka akan bersedia hanya dengan satu kode di whatsapp group seperti, "lagi pada ngapain guys?", mereka langsung paham kalo itu adalah kode ajakan keluar. Dan ditambah lagi selalu ada saja kegiatan-kegiatan yang harus aku hadiri. Maklum lah, kegiatan pramuka itu, nggak ada habisnya. Selama 6 tahun lebih di kota ini, aku hampir tidak pernah berada di rumah kecuali untuk...

Menolak Lupa

Lihatlah saat ini, ketika teman se-kontrakan tengah sibuk nobar drama korea, aku malah memilih menyendiri dikamar ini. Menutup pintu serapat mungkin, lalu menguncinya, agar tak satupun bisa masuk lalu menggangu kesendirianku. Aku memang sedang tak ingin di ganggu. Aku ingin sendirian. Melepaskan semua beban yang sudah tak sanggup kupikul lagi. Aku lelah, sangat lelah. Aku berfikir dengan menangis aku akan merasa lega walau aku tau pada kenyataannya itu tak merubah apapun. Pikiranku masih saja membayangkan kejadian tempo hari, saat aku melihat kekasihku –mantan kekasihku, berdiri berhadapan dengan kekasihnya. Dari kejauhan aku dapat menangkap binar – binar bahagia dari wajahnya. Mereka tidak malu – malu mengubar kemesraan di depan umum. Dan lagi, walau dengan jarak sejauh itu, kedua telingaku masih mampu mendengar dia memanggil kekasihnya dengan sebutan ‘sayang’. Sebutan yang dulu adalah milikku. Sebutan yang kerap dia sebutkan ketika pagi hari aku terbangun dari...