Langsung ke konten utama

Day 3: A Memory

 “Jadi, kapan aku bisa melihatmu lagi?”, tanyaku ketika kami berada di sebuah kedai Cheese Tea. Dua jam lagi, dia akan kembali pulang ke Sigli. “See you when I see you”, ucapnya. Mataku berkaca-kaca, dia menatapku dengan perasaan bersalah. “Yaudah yuk, mau kemana lagi sekarang? Aku ikutin apa aja mau kamu deh”, katanya seolah ingin menenangkan aku.

Aku kemudian mengajaknya pindah dari kedai itu dan berhenti di pinggir Sungai Lamnyong. Kami menikmati senja tanpa sunset sambil duduk di rumput.

“Apa yang membuat aku yakin kalau kamu bakalan pulang lagi?”, tanyaku membuka obrolan.

“Ya, pasti pulang, orang tuaku disini”, jawabnya.

“Maksud aku bukan itu”, kataku, sebal. Dia benar-benar menjawab pertanyaan seperti apa yang terdengar, bukan menjawab bagaimana maksud dari pertanyaan itu.

“Maksudnya aku pulang ke kamu?”, tanyanya lagi.

“iya”, jawabku.

“Ya liat aja nanti. Selagi kamu masih jadi orang yang aku suka. Selama kamu ngga macem-macem, aku rasa kita bakal baik-baik aja”

Ya, aku tau, nggak ada yang salah dari ucapannya. Semua terasa masuk akal. Tapi, semua kalimat itu cukup membuatku paham bahwa untuk bersamanya butuh perjuangan yang masih panjang. Dan aku nggak tau, apakah aku akan sampai di tujuan atau tidak.

Malam itu, aku mengantarnya ke terminal. Aku mengenyahkan segala perasaan sedih dan mencoba terlihat seolah baik-baik saja di depannya. Aku bahkan mengajaknya selfie di atas motor, mengabadikan momen naik motor bersama. Aku benar-benar terlihat ceria di depannya. Ketika sampai di terminal, aku menungguinya membeli tiket dan kami berpisah setelah foto berdua, dia mengelus kepalaku, dan aku menyalami tangannya. Diapun naik ke mobil, aku mengambil motor. Dari luar jendela mobil, aku bisa melihatnya melambaikan tangan ke arahku. Sebuah perpisahan selalu terasa sedih, bukan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berpisah di Bandara

  Kami berpelukan lama sekali, sebelum akhirnya memutuskan keluar dari pintu kamar dan menuju lobby hotel. Dengan ransel dipunggung belakang dan tas kecil di bahu kiri, aku melangkah disebelahnya menuju meja resepsionis. “Checkout kak”, kataku ke mba resepsionis. Oke sebentar saya cek ya, katanya merespon kami. “oke, atas nama Bapak Surya sudah selesai, terimakasih”, katanya ramah. Kami lalu meninggalkan hotel dan menuju rumah kost aku untuk menyimpan barang-barangku, lalu makan siang, dan kemudian berangkat mengantar dia ke bandara. Itulah makan siang terakhir kami sebelum dia kembali ke Tokyo, kota tempatnya bekerja. Aku melihat mukanya lamat-lamat. Aku memperhatikannya lama sekali, menikmati detik-detik terakhir bersamanya sedekat ini. Dan ketika dia sedang asik menikmati potongan paha ayamnya, aku menitikkan air mata lagi –entah untuk kali keberapa. Aku buru-buru menghapus air mata yang jatuh itu, takut dia menyadarinya. Tahun lalu, aku juga ditinggalkan saat dia pertam

Nyaman Tak Harus Saling Bicara

Sejak menikah, nggak ada lagi orang yang bisa membuatku merasa nyaman lebih dari suamiku. Bahkan teman-temanku sendiri nggak lagi bisa membuatku senyaman dulu. Kok, bisa gitu ya ? Padahal, dulu bersama teman-teman dekat aku bisa nyaman ngapain aja, bahkan bisa nyaman tanpa saling ngobrol. Tapi sekarang kok rasanya beda. Saat bersama mereka, aku berusaha keras mencari topik obrolan. Yang sebenarnya, nggak ada lagi topik yang bisa dibahas karena sudah lama terpisah jarak. Lalu kebersamaan kami rasanya tidak semenyenangkan dulu, bahkan terasa awkward . Justru sekarang, cuma suamiku satu-satunya orang yang membuatku merasa nyaman di dekatnya.  Aku pernah baca sebuah tweet , isinya begini, “banyak orang bilang, “carilah pasangan yang menyenangkan ketika diajak mengobrol, karena 70% pernikahan isinya adalah saling bercerita dengan pasangan”, kalau aku mungkin sedikit berbeda. Carilah pasangan yang tetap membuatmu nyaman meskipun kalian hanya saling diam tak saling bicara” Aku langsun

How to Move On

  Kadang,  it's most likely often, move on  bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Kenangan-kenangan yang muncul di galeri  handphone, instagram story archives,  dan  memories  di  facebook , semuanya seolah bekerja sama untuk membuat kamu menolak melupakannya. Bahkan, kepingan-kepingan kenangan itu masih utuh di sudut kepala, membuatmu semakin frustasi dan tidak ingin menerima kondisi sulit ini. Tidak peduli sebanyak apapun waktu berlalu, sejauh apapun dia pergi darimu, sebesar apapun usahanya untuk menjauh dari hidupmu, tidak membuatmu lantas menerima kenyataan bahwa kalian sudah berpisah. Percayalah, hal itu sungguh wajar. Tidak ada yang akan menyalahkanmu atas perasaan yang masih utuh itu. Pun, tidak ada yang akan memaksamu untuk secepat itu membunuh semua rasamu untuknya. Kamu berhak bersedih,  so take your time . Take your time to accept. Take your time to heal by accepting. Kamu boleh bersedih bertahun-tahun, tapi pastikan kamu ikhlas. Pastikan kamu sudah rela. Tidak ada gunany