“Jadi, kapan aku bisa melihatmu lagi?”, tanyaku ketika kami berada di sebuah kedai Cheese Tea. Dua jam lagi, dia akan kembali pulang ke Sigli. “See you when I see you”, ucapnya. Mataku berkaca-kaca, dia menatapku dengan perasaan bersalah. “Yaudah yuk, mau kemana lagi sekarang? Aku ikutin apa aja mau kamu deh”, katanya seolah ingin menenangkan aku.
Aku kemudian mengajaknya pindah dari
kedai itu dan berhenti di pinggir Sungai Lamnyong. Kami menikmati senja tanpa
sunset sambil duduk di rumput.
“Apa yang membuat aku yakin kalau kamu bakalan pulang lagi?”, tanyaku membuka obrolan.
“Ya, pasti pulang, orang tuaku
disini”, jawabnya.
“Maksud aku bukan itu”, kataku,
sebal. Dia benar-benar menjawab pertanyaan seperti apa yang terdengar, bukan
menjawab bagaimana maksud dari pertanyaan itu.
“Maksudnya aku pulang ke kamu?”,
tanyanya lagi.
“iya”, jawabku.
“Ya liat aja nanti. Selagi kamu masih
jadi orang yang aku suka. Selama kamu ngga macem-macem, aku rasa kita bakal
baik-baik aja”
Ya, aku tau, nggak ada yang salah
dari ucapannya. Semua terasa masuk akal. Tapi, semua kalimat itu cukup
membuatku paham bahwa untuk bersamanya butuh perjuangan yang masih panjang. Dan
aku nggak tau, apakah aku akan sampai di tujuan atau tidak.
Malam itu, aku mengantarnya ke
terminal. Aku mengenyahkan segala perasaan sedih dan mencoba terlihat seolah
baik-baik saja di depannya. Aku bahkan mengajaknya selfie di atas motor,
mengabadikan momen naik motor bersama. Aku benar-benar terlihat ceria di
depannya. Ketika sampai di terminal, aku menungguinya membeli tiket dan kami
berpisah setelah foto berdua, dia mengelus kepalaku, dan aku menyalami tangannya.
Diapun naik ke mobil, aku mengambil motor. Dari luar jendela mobil, aku bisa
melihatnya melambaikan tangan ke arahku. Sebuah perpisahan selalu terasa sedih,
bukan?
Komentar
Posting Komentar