Langsung ke konten utama

Kenapa Aku Nggak Bersyukur ?

 

Aku sering melihat jari tangan bagus dari artis, public figure maupun teman-temanku. Jari jemari cantik dan mungil adalah hal biasa bagi perempuan, namun tidak bagiku. Tanganku besar seperti laki-laki, jari-jarinya berlingkar besar. Aku bahkan harus pakai cincin dengan size yang tergolong besar. Telapak tanganku kasar, mungkin karena keseringan mengucek pakaian menggunakan detergen.

Kakiku juga begitu. Jika orang melihat gambar kakiku, tidak ada yang percaya kalau ini adalah kaki seorang perempuan. Kakiku lebar seperti laki-laki, jauh dari kata cantik.

Dulu aku pernah malu dan sangat insecure menunjukkan bentuk kaki dan tanganku. Jika terpaksa harus memotretnya, aku akan mencari angle yang membuat tangan dan kakiku terlihat cantik.




Kenapa aku begitu?

Padahal karena kaki ini aku bisa sekolah, belajar banyak ilmu. Belajar membaca. Belajar berhitung yang sekarang menjadi profesiku, guru les matematika. Dengan tangan ini aku bisa menulis, aku bisa jawab soal ujian dan dapat ranking dan jadi murid teladan di sekolah.

Padahal karena kaki ini aku bisa pergi mengaji, menggali ilmu agama. Mengerti siapa Tuhanku, belajar bagaimana aku solat sebagai bekal di akhirat nanti. Dengan tangan ini aku bisa mempraktikkan cara berwudu, dan belajar menuliskan huruf-huruf arab.

Padahal karena kaki ini aku bisa berjalan ke tempat-tempat yang aku sukai. Traveling, camping, atau hanya sekedar main di pantai. Dengan tangan ini aku bisa membawa seluruh perlengkapan travelingku. Dengan tangan ini aku bisa mendirikan tenda, menyalakan api unggun sebagai teman di malam hari. Dengan tangan ini aku bisa memotret diriku dan mengunggahnya ke Instagram dan social media lain untuk menunjukkan betapa bahagianya aku ke follower yang sebenarnya tidak seberapa.

Padahal dengan tangan dan kaki ini aku bisa pergi bekerja, mengetik ratusan data di excel, membuat laporan keuangan sehingga aku bisa mendapatkan uang di setiap akhir bulan untuk menghidupi diri sendiri dengan layak.

Padahal dengan tangan dan kaki ini aku bisa ikut bermain badminton, olahraga yang aku sukai, walaupun tidak menjadi atletnya. Aku begitu senang saat mengayunkan raket, memukul bola dan berlari ke arah bola saat dipukul lawan.

Aku bisa melakukan semua itu karena tangan dan kaki ini. Walaupun bentuknya nggak cantik, tapi fungsinya sama. Kenapa aku sibuk memperhatikan bentuk, disaat fungsinya malah bisa lebih dari yang orang lain bisa?

Aku bahkan hidup mandiri tanpa pernah merepotkan siapa-siapa ketika dewasa seperti saat ini, dan semuanya bisa aku lakukan karena tangan dan kaki ini berfungsi dengan baik.

Ibuku juga memiliki bentuk tangan dan kaki yang persis sepertiku, namun dengan jari tangannya yang tidak cantik itu, dia membesarkan aku dengan baik, dari dalam kandungan hingga jadi orang seperti sekarang. 

Kenapa aku tidak bersyukur?


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berpisah di Bandara

  Kami berpelukan lama sekali, sebelum akhirnya memutuskan keluar dari pintu kamar dan menuju lobby hotel. Dengan ransel dipunggung belakang dan tas kecil di bahu kiri, aku melangkah disebelahnya menuju meja resepsionis. “Checkout kak”, kataku ke mba resepsionis. Oke sebentar saya cek ya, katanya merespon kami. “oke, atas nama Bapak Surya sudah selesai, terimakasih”, katanya ramah. Kami lalu meninggalkan hotel dan menuju rumah kost aku untuk menyimpan barang-barangku, lalu makan siang, dan kemudian berangkat mengantar dia ke bandara. Itulah makan siang terakhir kami sebelum dia kembali ke Tokyo, kota tempatnya bekerja. Aku melihat mukanya lamat-lamat. Aku memperhatikannya lama sekali, menikmati detik-detik terakhir bersamanya sedekat ini. Dan ketika dia sedang asik menikmati potongan paha ayamnya, aku menitikkan air mata lagi –entah untuk kali keberapa. Aku buru-buru menghapus air mata yang jatuh itu, takut dia menyadarinya. Tahun lalu, aku juga ditinggalkan saat dia pertam

Nyaman Tak Harus Saling Bicara

Sejak menikah, nggak ada lagi orang yang bisa membuatku merasa nyaman lebih dari suamiku. Bahkan teman-temanku sendiri nggak lagi bisa membuatku senyaman dulu. Kok, bisa gitu ya ? Padahal, dulu bersama teman-teman dekat aku bisa nyaman ngapain aja, bahkan bisa nyaman tanpa saling ngobrol. Tapi sekarang kok rasanya beda. Saat bersama mereka, aku berusaha keras mencari topik obrolan. Yang sebenarnya, nggak ada lagi topik yang bisa dibahas karena sudah lama terpisah jarak. Lalu kebersamaan kami rasanya tidak semenyenangkan dulu, bahkan terasa awkward . Justru sekarang, cuma suamiku satu-satunya orang yang membuatku merasa nyaman di dekatnya.  Aku pernah baca sebuah tweet , isinya begini, “banyak orang bilang, “carilah pasangan yang menyenangkan ketika diajak mengobrol, karena 70% pernikahan isinya adalah saling bercerita dengan pasangan”, kalau aku mungkin sedikit berbeda. Carilah pasangan yang tetap membuatmu nyaman meskipun kalian hanya saling diam tak saling bicara” Aku langsun

How to Move On

  Kadang,  it's most likely often, move on  bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Kenangan-kenangan yang muncul di galeri  handphone, instagram story archives,  dan  memories  di  facebook , semuanya seolah bekerja sama untuk membuat kamu menolak melupakannya. Bahkan, kepingan-kepingan kenangan itu masih utuh di sudut kepala, membuatmu semakin frustasi dan tidak ingin menerima kondisi sulit ini. Tidak peduli sebanyak apapun waktu berlalu, sejauh apapun dia pergi darimu, sebesar apapun usahanya untuk menjauh dari hidupmu, tidak membuatmu lantas menerima kenyataan bahwa kalian sudah berpisah. Percayalah, hal itu sungguh wajar. Tidak ada yang akan menyalahkanmu atas perasaan yang masih utuh itu. Pun, tidak ada yang akan memaksamu untuk secepat itu membunuh semua rasamu untuknya. Kamu berhak bersedih,  so take your time . Take your time to accept. Take your time to heal by accepting. Kamu boleh bersedih bertahun-tahun, tapi pastikan kamu ikhlas. Pastikan kamu sudah rela. Tidak ada gunany